Cak Rochim Raih 17.260 Suara di Pileg 2024, Soroti Maraknya Money Politics


Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah merampungkan rekapitulasi penghitungan suara Pemilu 2024. Banyak yang bertanya kepada saya bagaimana hasil pileg kemarin, kalah atau menang? Tentu karena banyak yang membantu saya baik secara langsung dengan cara memilih di bilik suara ataupun lewat cara-cara lainnya maka saya harus sampaikan pula hasilnya. Saya belum berhasil terpilih sebagai anggota DPR RI.
Biasanya, hanya caleg yang menang pemilu yang membuat flyer ucapan kemenangan. Tapi tidak dengan saya. Meskipun dalam pemilu kali ini saya belum berhasil menang secara elektoral, tapi saya sengaja membuat flyer ucapan terima kasih yang sangat patut saya sanjungkan kepada seluruh sahabat yang telah membantu saya selama proses pemilu. Seluruh sahabat baik yang saya kenal langsung maupun yang tidak. Syukron. Jazaakumullah khairan katsir.
Sebagai caleg pendatang baru, dalam Pileg 2024, saya āberhasilā mendapatkan dukungan dari 17.260 warga Sidoarjo dan Surabaya atau Dapil Jatim 1. Sidoarjo yang saya sebut duluan karena sumbangan suara dari Kota Udang itu lebih banyak, mencapai kisaran 11.300-an suara. Sementara dari Surabaya saya mendapatkan dukungan 5.924 suara. Maklum, konsentrasi kampanye saya memang lebih banyak di Sidoarjo.
Angka 17.260 suara memang tidak berhasil mengantarkan saya ke Senayan atau IKN (jika jadi pindah Ibu Kota). Tapi, angka itu juga tidak sedikit. Untuk mendapatkan dukungan dari 17.260 warga Sidoarjo dan Surabaya, butuh effort yang luar biasa. Selama beberapa bulan saya bergerilya untuk mendapatkan dukungan siang hingga larut malam. Berbagai kelompok masyarakat, jamiyah pengajian dan berbagai forum saya hadiri untuk meminta doa dan dukungan. Beragam artibut atau alat peraga kampanye juga saya buat untuk sosialisasi diri. Seluruh resources yang saya miliki, baik tenaga, pikiran, dana semua saya keluarkan untuk perjuangan di jalur politik ini. Jejaring lama ketika belasan tahun silam saya tinggal di Surabaya berusaha saya rajut kembali. Dan jejaring baru saya bangun. Faktanya, angka 17.260 suara menjadi dukungan maksimal yang berhasil saya raih.
Ada yang menyebut angka itu sudah lumayan bagus sebagai caleg pendatang baru yang minim resources (baca: uang). Tapi sayup-sayup saya dengar juga celotehan, kok cuma dapat segitu. Kira-kira begitu. Intinya, saya kalah secara elektoral. Kalah dari peraih suara terbanyak di internal partai yang kali ini berhasil direbut kembali oleh Mbak Dr Arzetty Bilbina, caleg incumbent yang meraih 62.790. Selamat kepada Mbak Arzetty yang terpilih untuk ketiga kalinya.
Capaian 17.260 suara menempatkan saya di urutan keempat dari 10 caleg PKB yang bertarung di Dapil Jatim 1. Rangking keempat, sama persis dengan nomor urut saya di Pileg kemarin yang juga 4. Posisi saya berada di bawah pengurus DPP PKB, caleg nomor urut 2, Mbak Dita Indahsari yang berada di urutan ke-3 dengan raihan suara 48.995 dan caleg incumbent lainnya nomor urut 1, Gus Syaikhul Islam yang meraih 59.587 suara. Selebihnya di urutan ke-5 ada Mas Mukafi Makki (6.9937), Achmad Wahyuddin (5.572), Muhammad Ghozi Al Fatih (5.412), Zaenab Maltufah (5.226), Sri Untari Puji Astuti (3.694), dan Teddy Sugiharto (2.175). Sementara pemilih partai sebanyak 78.236. Total PKB berhasil mengumpulkan 295.884 suara di Dapil Jatim 1. (Sumber: Pleno KPU Jatim). Sayangnya, jumlah pemilih sebanyak itu hanya terkonversi menjadi satu kursi saja, dan PKB harus kehilangan satu kursi yang dalam beberapa pemilu sebelumnya selalu menyumbangkan dua kursi dari Dapil Jatim 1.
Pemilu 2024 memberikan banyak pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Saya memang kalah secara elektoral, tapi saya tidak merasa gagal. Pertama, sebagai caleg, saya ikut berkontribusi secara langsung menambah perolehan suara PKB secara nasional, dan ikut berkontribusi mengantarkan satu caleg PKB di Dapil Jatim 1 sebagai anggota DPR RI. Sebab, seorang caleg nggak mungkin bisa lolos sendirian tanpa kontribusi dari suara caleg lainnya. Banyak contoh seorang caleg moncer suaranya di satu dapil, tapi caleg separtai lainnya suaranya minim sehingga tidak jadi kursi. Salah satunya caleg PKB di Dapil Kalimantan Tengah, Habib Ismail, raihan suaranya lebih dari 70 ribu, tapi tidak jadi satu kursi karena raihan suara caleg di bawahnya tidak signifikan.
Kedua, sebagai kader PKB yang baru bergabung sekitar 4 tahun, dalam periode pertama, saya langsung ikut maju dalam kontestasi pileg di kasta tertinggi yakni DPR RI. Bukan sekadar caleg yang numpang titip nama, tapi saya benar-benar berikhtiyar untuk mendapatkan suara sebanyak mungkin. Berikhtiyar untuk melakukan yang terbaik agar bisa menang. Tapi bicara soal kalah dan menang, semua sudah ada catatan takdirnya.
Artinya, tugas saya sebagai kader partai yang didirikan para ulama Nahdlatu Ulama (NU) itu sudah saya laksanakan semaksimal mungkin dalam konteks pemilu. Dan memang sudah seyogyanya, jika kita ingin berkiprah di politik, masuknya harus sebagai kader yang memang digembleng dan didoktrin dengan ideologi partai politik tempat kita bernaung. Bukan dari luar, tiba-tiba karena punya logistik, langsung maju sebagai caleg. Kalau begini, peran parpol hanya menjadi kendaraan politik saja.
Ketiga, saya berhasil men-challenge nyali saya untuk berani bertarung di politik yang sedari awal sudah saya sadari itu berat. Berat karena praktik politik sekarang super high cost sementara sebagai caleg kader, kapasitas keuangan saya sangat terbatas. Tapi saya berfikir, buat apa jadi kader parpol yang selalu dibina untuk bagaimana bisa merebut kuasa agar bisa ikut berbakti mengatur negara, kalau kita nggak berani nyaleg saat pemilu? Dan saya berani mengambil pilihan itu dengan segala konsekuensinya, termasuk yang pasti adalah konsekuensi harus mengeluarkan pendanaan atau bahkan menghabiskan simpanan tabungan (karena memang simpanannya nggak banyak) untuk misi perjuangan ini.
Keempat, dan ini termasuk penting, langkah saya maju sebagai caleg DPR RI, membuktikan bahwa saya berani punya mimpi atau cita-cita. Dengan maju sebagai caleg artinya ada harapan untuk menang, entah berapapun probabilitasnya. Gus Jazilul Fawaid, mentor politik saya, dalam berbagai kesempatan sering mengeluhkan di kalangan santri atau aktivis NU, kadang kita ini untuk bermimpi saja takut. Untuk punya cita-cita saja tidak berani. Ini kan tragis. Misalnya karena melihat praktik politik saat ini brutal karena seolah semua ditentukan oleh uang, kemudian takut untuk nyaleg. Artinya, nggak punya keberanian untuk menjadi pemimpin.
Gus Muhaimin Iskandar, ketua umum PKB, telah memberikan contoh nyata kepada para kadernya dan generasi muda NU agar tidak takut untuk bermimpi. Sejak awal PKB didirikan untuk cita-cita besar dalam menata bangsa Indonesia. Bangsa yang memang dilahirkan oleh para ulama NU, KH Hasyim Asyāari, dan para masyayikh lainnya. Bahkan, kiprah para ulama NU sejak negeri ini belum lahir. PKB bukan dilahirkan dengan cita-cita hanya sebagai parpol pupuk bawang. Meskipun banyak pihak yang nyinyir, termasuk dari kalangan kawan-kawan NU sendiri, Gus Muhaimin berani bercita-cita sebagai pemimpin tertinggi negeri ini sebagai calon presiden. Meskipun pada kenyataannya takdir beliau baru bisa sampai pada calon wakil presiden. Setidaknya, Gus Muhaimin telah mencontohkan kepada para kader muda NU khususnya dan seluruh anak muda di negeri ini untuk berani bermimpi. Berani punya cita-cita besar untuk menjadi bagian dari pembangunan bangsa ini.
Kelima, langkah saya maju sebagai caleg DPR RI pada Pemilu 2024 menambah jejaring persaudaraan. Saya mendapatkan begitu banyak jejaring baru, terutama di wilayah Surabaya dan Sidoarjo yang bagi saya itu sangat berharga. Raihan 17.260 suara itu saya meyakini sebagian besar justru berasal dari jejaring baru yang sebelumnya tidak saya kenal sama sekali. Begitu banyak pihak yang tidak saya kenal sebelumnya, tiba-tiba memberikan bantuan yang luar bisa. Mengantarkan saya kampanye keliling. Ada sejumlah bu nyai yang di berbagai forum yang beliau ampu, mengampanyekan saya. Sejumlah caleg lokal yang juga membukakan jaringan untuk saya. Dukungan banyak jejaring baru yang sungguh tidak saya sangka sebelumnya. Ini sesuatu yang tentu sangat berharga dan saya berharap bisa terus terjaga selamanya.
Berikutnya, maju sebagai caleg ini jelas memberikan pengalaman yang kelak pasti akan berguna jika saya Kembali maju dalam kontestasi serupa. Apa kira-kira kelemahan-kelemahan yang membuat saya belum lolos. Termasuk hal-hal positif dari calon lainnya yang bisa lolos. Satu hal yang pasti, pemilu kini semakin pragmatis. Keseriusan dan kekuatan caleg lebih diukur bukan pada gagasan, visi misi, atau kapasitas kemampuan leadership, intelektual maupun integritas seorang caleg, tapi yang utama adalah seberapa kuat logistik yang dimiliki.
Banyak cerita bagaimana incumbent yang sudah mengucurkan berbagai program ke dapil, tumbang oleh para pendatang baru yang berani jor-joran mengeluarkan logistik menjelang pencoblosan. Kader-kader parpol, aktivis dan sudah belajar kepemimpinan bertahun-tahun, kalah oleh caleg pendatang baru yang punya logistik kuat. Bahkan, kerja-kerja politik dari struktur partai di tingkat ranting atau kecamatan ataupun timses seolah hanya bisa melakukan poendataan calon pemilih dan bagi-bagi amplop. Jualan gagasan atau janji-janji politik seperti tidak dilirik sama sekali oleh calon pemilih. Makelar suara bergentayangan. Termasuk juga konon para penyelenggara pemilu. Gus Mustofa Bisri pun sampai menulis puisi kritis berjudul Negeri Amplop.
Melihat kenyataan ini, untuk masa depan politik yang leboih bermartabat, perlu kiranya bangsa ini memikirkan opsi sistem pemilu yang lebih baik sehingga pemilu-pemilu ke depan tidak ditentukan oleh amplop. Pemilu yang bisa melahirkan para pemimpin yang lebih berkualitas dan berintegritas, bukan sekadar pemimpin yang punya kapasitas isi tas yang besar. Salam Perubahanā¦!