Pilih Gabung PKB dan Bukan Parpol Lain, Ini Jawaban Tegas Cak Rochim

Abdul Rochim, S.Sos Caleg DPR RI PKB Dapil Jatim 1 Surabaya-Sidoarjo
Ada pertanyaan mengapa saya memilih untuk bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) setelah tidak lagi aktif sebagai jurnalis? Kenapa kok bukan partai lain, misalnya PDIP yang saat ini sebagai partai pemenang pemilu, atau Golkar, Nasdem, Perindo atau parpol lainnya?
Jawaban saya sangat tegas soal ini. Bagi saya, berpartai bukan sekadar ikut rombongan mobil dimana kita bisa naik Fortuner, Pajero, Expander ataupun Mercy yang penting sampai ke tujuan. Lebih dari itu, berpartai harus didasarkan pada cita-cita besar. Ada ideologi yang dibawa. Mungkin ada yang tidak setuju dengan pendapat ini dan menganggap semua parpol sama saja.
Saya menganggap semua parpol baik, punya cita-cita yang baik pula. Tapi, masing-masing parpol berbeda. Karena setiap parpol dilahirkan dengan tujuan dan visi masing-masing. Dia lahir pada waktu yang berbeda-beda dengan visi perjuangan yang berbeda-beda pula. Bahkan, parpol juga menjadi representasi ideologi perjuangan yang berbeda pula.
Sebagai warga Nahdliyin, bagi saya parpol yang paling pas dan cocok buat saya adalah PKB karena adanya kesamaan ideologi perjuangan itu. Lho, bukannya warga NU ada dimana-mana, di semua parpol? Benar sekali, di Golkar ada kader NU, di PDIP pun banyak, begitu pula di PKS, kader NU pun ada. Tapi dalam kacamata saya, parpol yang paling dekat dan menjadi representasi warga NU ya cuma PKB. Apa alasannya? Ya lihat saja sejarah berdirinya PKB dan bagaimana konsistensi perjuangannya selama ini bagi NU dan Nahdliyin.
Sebagai seseorang yang cukup lama berkecimpung sebagai wartawan, saya berinteraksi sangat baik dengan parpol-parpol lainnya. Saya sering liputan di kandang PDIP, Golkar, Nasdem, dan lainnya. Saya juga berhubungan baik dengan para politisi dari berbagai parpol tersebut. Sehingga, seandainya saya ingin masuk ke parpol-parpol tersebut, pintunya ada. Namun, berparpol itu pilihan. Selain karena kesempatannya ada 3,5 tahun lalu, ya hati saya memang berlabuh ke PKB. Saya ber-PKB bukan hanya sejak saya menjadi kader saja, tapi jauh sebelum itu. Dari pertama kali kenal parpol tahun 1999, pilihan politik saya ya PKB. Sebagai warga NU kampung di Lamongan, dulu identifikasi pilihan parpol warga di desa saya gampang sekali. Kalau NU ya PKB, kalau warga Muhammadiyah ya PAN. Kalau sekarang lebih beragam.
Sebagai review, dalam catatan ini, saya ingin menjelaskan kembali sejarah berdirinya PKB. PKB merupakan parpol yang kelahirannya diinisiasi oleh sejumlah ulama Nahdlatul Ulama (NU). Antara lain, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH Munasir Ali, KH Ilyas Ruchiyat, KH A Musthofa Bisri, dan KH A Muchit Muzadi. PKB resmi dideklarasikan sebagai parpol pada 23 Juli 1998. Pada periode pertamanya, pucuk kepemimpinan dipegang KH Ma’ruf Amin sebagai Ketua Dewan Syuro dan Matori Abdul Djalil sebagai Ketua Dewan Tanfidziyah sedangkan Abdul Muhaimin Iskandar (Gus Imin) didaulat sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen). Dalam proses pendiriannya, Gus Imin berperan sebagai salah satu Tim Asistensi yang dibentuk pada 20 Juni 1998. Tim Asistensi ini bertugas untuk membantu Tim Lima untuk menginventarisasi dan merangkum usulan pembentukan parpol sebagai wadah aspirasi warga NU.
Nama-nama yang masuk dalam Tim Asistensi pendirian PKB adalah Arifin Djunaidi sebagai ketua Tim Asistensi. Sementara di jajaran anggota ada Muhaimin Iskandar, Muhyiddin Arubusman, HM Fachri Thaha Ma’ruf, Abdul Aziz, Andi Muarli Sunrawa, Nasihin Hasan, Lukman Saifuddin, dan Amin Husni Said. Sedangkan dalam daftar Tim Lima yang sudah terbentuk sebelumnya, beranggotakan para petinggi PBNU saat itu, antara lain KH Ma’ruf Amin, KH Said Aqil Siroj, HM Rozy Munir, KH M Dawam Anwar, dan Ahmad Bagdja. Hasil kerja Tim Lima dan Tim Asistensi ini yang kemudian melahirkan PKB. Partai berbasis pemilih utama warga Nahdliyin ini kemudian dideklarasikan di kediaman Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai Ketua Umum PBNU di Ciganjur, Jakarta Selatan pada 23 Juli 1998 atau 29 Rabiul Awal 1419 Hijriah.
Sebelum lahirnya PKB, perjalanan politik NU sangat dinamis. NU pernah menjadi bagian dari Masyumi, kemudian memilih keluar dan pada 1952 membentuk partai sendiri yakni Partai NU. Pada 1955, Partai NU mengikuti pemilu bersaing dengan 172 partai lainnya. Hasilnya, Partai NU keluar sebagai juara III di bawah PNI dan Masyumi. Pada Pemilu 1971 di bawah rezim Orde Baru, Partai NU menyodok ke posisi 2 di bawah Golkar. Namun pada 1973, oleh Soeharto, Partai NU dilebur menjadi satu dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) melalui kebijakan fusi. Lainnya ke PDI. Sementara Golkar menjadi kekuatan politik yang dominan. Pada 1984, NU memilih keluar dari PPP dan kembali ke Khittah 1926, yakni tidak terlibat dalam politik praktis. NU fokus pada urusan sosial keagamaan. Warga NU dibebaskan untuk memilih pilihan politiknya. Artinya, NU tidak dimana-mana, tapi warga NU ada dimana-mana. NU sebagai kekuatan civil society tumbuh semakin besar, namun tidak memiliki kendaraan politik untuk menyalurkan aspirasi politik warganya. Disatu sisi, NU tidak berpolitik, namun disisi lain warga NU memerlukan wadah untuk menyalurkan aspirasi politiknya. KH Ma’ruf Amin mengatakan bahwa saatnya warga NU bersatu dan bersepakat. NU tidak boleh lagi menjadi kerdil. Mereka disatukan dalam Partai Kebangkitan Bangsa, parpol yang kelahirannya difasilitasi oleh PBNU. (Kompas, 1998).
Tumbangnya rezim Orde Baru disambut euforia para kiai NU, seperti hanya euforia masyarakat Indonesia secara umum. Para kiai yang dulu menjadi penggagas dan penggerak Khittah NU, justru bersuara lantang ingin agar NU punya wadah politik. Bahkan, belum sebulan Soeharto tumbang, KH Musthofa Bisri (Gus Mus) mengeluarkan pernyataan bahwa sudah saatnya NU memiliki rumah sendiri. Sebab, selama Orde Baru, NU hanya menjadi penonton dan terjajah dalam setiap perhelatan politik lima tahunan. Orang-orang NU atau Nahdliyin hanya menjadi ”sapi perah” pengumpul suara untuk partai-partai seperti Golkar, PPP, dan PDI. Sehingga, wajar jika ada aspirasi agar orang NU mendirikan partai politik sendiri. (Baso, 2021).
Pada Pemilu 1999 atau pemilu pertama pasca Reformasi, PKB langsung menyodok ke posisi tiga besar. Selama 17 tahun belakangan, PKB dinahkodai oleh Gus Imin.
DAFTAR KEPEMIMPINAN PARTAI KEBANGKITAN BANGSA | |
KETUA DEWAN SYURO | KETUA UMUM |
KH Ma’ruf Amin (1998-2022) | Matori Abdul Djalil (1998-2021) |
KH Abdurrahman Wahid (2022-2005) | Alwi Shihab (2021-2005) |
KH Aziz Mansur (2005-2015) | Muhaimin Iskandar (2005-Sekarang) |
KH Dimyati Rois (2018-2022) |
Pada masa awal kepemimpinannya, elektoral PKB sempat merosot akibat konflik internal. Pada Pemilu 2009, PKB hanya mengantongi 5.146.122 suara dan hanya berada di posisi 7 dengan mendapatkan 27 kursi saja di Senayan, posisi terburuk dalam sejarah PKB hingga saat ini. Perolehan suara itu jauh di bawah perolehan suara pada pemilu-pemilu sebelumnya. Saat pertama kali mengikuti pemilu pada 1999, PKB berhasil mendapatkan 13.336.982 suara atau sekitar 12.61% dan mendapatkan sebanyak 51 kursi di Parlemen. Perolehan suara tersebut juga menempatkan PKB di posisi tiga besar di bawah PDIP dan Partai Golkar. Sedangkan pada Pemilu 2004, PKB mendapatkan 11.989.564 suara atau 10,57% dan menempatkan 52 anggota DPR RI di Senayan. Saat itu, PKB kembali berada di posisi tiga besar.
Perlahan namun pasti, seiring berakhirnya konflik internal, PKB di bawah kepemimpinan Muhaimin Iskandar bisa kembali bangkit. Pada Pemilu 2014, PKB berhasil meraup 11.298.957 suara dengan perolehan 47 kursi DPR RI atau bertambah 20 kursi dari Pemilu 2009 yang hanya mendapatkan 27 kursi. Posisi PKB pun naik dari urutan 7 ke urutan 5 besar. Lompatan perolehan suara PKB terjadi pada Pemilu 2019 lalu. Saat itu, kondisi di internal PKB sudah relatif stabil dan PKB berhasil mendulang 13.570.097 suara atau 9,69% suara nasional dan berada di posisi empat besar di bawah PDIP, Gerindra dan Golkar. Jumlah kursi yang didapat pun naik menjadi 58 kursi atau bertambah 11 kursi dibandingkan Pemilu 2014. Perolehan kursi PKB pada Pemilu 2019 lalu merupakan yang terbanyak dalam sejarah perpolitikan PKB sejak pertama kali mengikuti pemilu pada 1999. (KPU, 2019).
PEROLEHAN SUARA PKB DARI PEMILU KE PEMILU | ||||
TAHUN | TOTAL SUARA | PROSENTASE | JUMLAH KURSI | URUTAN |
1999 | 13.336.982 | 12,61% | 51 | 3 |
2004 | 11.989.564 | 10,57% | 52 | 3 |
2009 | 5.146.122 | 4,94% | 27 | 7 |
2014 | 11.298.957 | 9,04% | 47 | 5 |
2019 | 13.570.097 | 9,69% | 58 | 4 |
Sumber: Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Belakangan dalam berbagai hasil survei terkini, elektabilitas PKB menjelang Pemilu 2024 cukup bagus. Hasil survei Charta Politica Indonesia yang dilakukan pada 10-17 April 2022 dan dipublikasikan pada 26 April 2022, elektabilitas PKB bahkan mengungguli Golkar. PKB berada di posisi tiga besar dengan tingkat elektabilitas 9,8% di bawah PDIP di urutan teratas dengan perolehan 24,7%, disusul Partai Gerindra di urutan 2 dengan tingkat elektabilitas 11,9%. Sedangkan Golkar berada di urutan 4 di bawah PKB dengan tingkat elektabilitas 9,2%. (Detik.com, 26/4/2022). Meskipun PKB adalah partai politik yang lahir dari rahim NU, kelahirannya diinisiasi oleh para kiai NU, namun PKB bukan partai yang mengkhususkan diri sebagai partai tempat naungan para nahdliyin saja. Gus Dur pun ketika masih menjabat sebagai Ketua Dewan Syuro PKB secara terang benderang menyatakan PKB sebagai partai yang terbuka, tempat bernaungnya seluruh elemen bangsa sehingga PKB. (nuonline/25/5/2005).
Keterbukaan itu juga dilanjutkan Gus Imin. Pada Rapat Konsolidasi Dewan Syuro DPP PKB di Jakarta, awal 2022 ini, Gus Imin menegaskan bahwa PKB terbuka untuk semua kalangan. Bahkan, PKB harus mencari pasar pemilih baru, dan terus merawat pasar pemilih lama yakni kalangan santri dan nahdliyin. Salah satu ceruk pasar pemilih yang sedang digarap adalah kalangan milenial yang pada Pemilu 2024 nanti jumlah diperkirakan mencapai 52%. (jurnas.com, 10/1/2022).
Semoga, keterlibatan saya di PKB bisa memberikan kontribusi pada kemajuan parpol yang didirikan oleh para ulama NU untuk kepentingan bangsa ini. Bismillah. Mohon doa dan dukungan sahabat semua. (*)